Banyak peristiwa penting yang terjadi
pada masa lalu, akan tetapi peristiwa-peristiwa tersebut tidak dicatat. Pada
masa tersebut orang belum mengenal huruf atau budaya baca tulis sehingga tidak
ada keterangan yang ditinggalkan secara tertulis. Zaman sebelum nenek moyang
kita mengenal tulisan disebut zaman prasejarah, sedangkan Zaman prasejarah
dimulai sejak manusia ada dan berakhir sampai manusia mengenal tulisan.
A.
Sumber Informasi Zaman Prasejarah
9
|
1.
Fosil, gua di bawah karang, bukit,
pegunungan. Fosil adalah sisa tumbuhan, hewan, dan bagian
tubuh manusia yang telah membatu. Fosil yang ditemukan dari hasil penggalian
dapat memberikan petunjuk tentang kejadian masa lalu
2.
Dapur sampah sebagai petunjuk tentang
tata cara kehidupan manusia pada zaman dahulu karena dari tempat tersebut dapat ditemukan
sisa-sisa makanan seperti buah-buahan, kerang-kerangan maupun hewan yang
lainnya,
3.
Alat-alat yang digunakan,
4.
Cerita-cerita rakyat, (oral
tradition), yang melekat dalam masyarakat pendukung di Pulau Lombok.
5.
Catatan tertulis yaitu berita yang
dapat menggambarkan kehidupan masa lalu seperti lontar, hikayat, kronik
Beberapa peninggalan tersebut menjadi sumber
informasi tentang keberadaan masyarakat masa lampau. Beberapa informasi yang
dapat diperoleh antara lain ;
1.
Pola-pola penyesuaian diri dengan alam
lingkungan masyarakat termasuk persamaan, perbedaan dan perubahan-perubahan
dalam struktur yang diasumsikan sejalan dengan berlangsungnya persamaan,
perbedaan dan perubahan lingkungan,
2.
Sistem sosial terhadap lingkungan,
persamaan, perbedaan serta perubahan struktur yang dianggap menggambarkan
persamaan kondisi serupa dalam sistem dan stratifikasi sosial suatu masyarakat,
3.
Sistem ideologi atau keagaamaan suatu
masyarakat.
Para peneliti kesulitan mencari bukti-bukti
peninggalan bersejarah di Pulau Lombok. Peninggalan sejarah di Pulau Lombok
hanya sebagian kecil yang tersisa. Menurut Lalu Azhar (2004) Beberapa faktor
penyebab musnahnya peninggalan-peninggalan tersebut antara lain :
1.
Bangunan bersejarah seperti istana,
prasasti, dan lain-lain dihancurkan para penjajah, penguasa secara sengaja
yaitu Karang Asem dan diteruskan oleh Penjajah Belanda
2.
Sisa-sisa bangunan yang ada, dilanda
bencana alam yang dahsyat terutama letusan Gunung Rinjani yang berkali-kali di
abad XVII-XIX
3.
Peninggalan-peninggalan tertulis dalam
bentuk prasasti yang terbuat dari logam maupun daun lontar banyak diangkut penguasa
Belanda ke Nederland karena yang
dikuasai penjajah Belanda di bumi Nusantara ini bukan sekedar ekonomi namun
menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari ideology sampai ke
hankam (ipoleksosbudhankam) nya
4.
Ketidakfahaman penduduk akan makna
sejarah menyebabkan benda-benda bersejarah seperti senjata (keris, pedang,
tombak) takepan (babad), alat-alat rumah tangga (keramik, porselin, perunggu,
kuningan) diperjualbelikan secara sebarang lalu diangkat ke luar daerah dan ke
luar negeri
5.
Yang paling terpenting ; bahwa terdapat
unsur kesengajaan dari para penjajah bahwa sejarah termasuk bukti sejarah
Daerah Lombok (orang-orang Sasak) memang sengaja dihancurleburkan karena kalau
ingin menghancurkan suatu bangsa atau kaum, hancurkanlah sejarahnya ; adalah
motto penjajah yang diterapkan di Lombok
Keganasan dan kegamangan penguasa masa lalu telah
menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah dari semua kerajaan-kerajaan di
Lombok seperti Selaparang, Pejanggik, Purwa, Banjar Getas dan lain-lain.
Penghancuran istana serta bangunan-bangunan sekitar, selalu dengan pola
pembakaran sampa habis oleh penguasa Dinasti Karang Asem Bali. Begitupula
Karang Asem Bali yang berkuasa di Lombok seperti Mataram,
Singasari-Cakranegara, peninggalan bangunan bersejarahnya disapurata lagi oleh
penguasa Belanda.
B.
Asal Usul Nenek Moyang dan Penamaan
Suku Sasak-Lombok
1.
Asal Usul Nenek Moyang Suku Sasak
Menurut Badrun AM (2004) Asal usul nenek moyang
suku di Pulau Lombok Dari sumber legenda Doyan Nada kita memperoleh dua tingkat
perkembangan tentang asal usul orang Sasak di Pulau Lombok sebagai berikut :
a.
Tingkat pertama : Datu Taun mempunyai
dua orang putra yaitu Raden Nune Putra Janjak dan Dewi Anjani. Ketika keduanya
lahir mereka sudah dilengkapi keistimewaan. Raden Nuna Putra Janjak lahir dilengkapi dengan senjata panah, sedangkan
Dewi Anjani lahir dilengkapi keris. Setelah usia gadis, Dewi Anjani diajak
ayahnya membangun pertapaan di Puncak Sebuah Gunung. Lambat laut gunung
tersebut diberi nama Gunung Rinjani, yang diambil dari nama Dewi
Anjani. Rinjani berasal dari kata anjarni
(anjar dan ni) Anjar artinya tangga dan
Ni artinya aku atau saya. Dalam kepercayaan lama diyakini bahwa Gunung Rinjani
sebagai tangga menuju kebesaran Tuhan Dewi Anjani
sangat sedih melihat pulau Lombok yang belum banyak penghuninya. Pulau ini
hanya dijejali oleh pokok-pokok kayu yang sesak (Sasak). Oleh karena itu, Dewi
Anjani mengutus 40 orang bangsawan pengikutnya yang dipimpin oleh Pengulu Alim.
Pengulu Alim inilah yang mempunyai keturunan pertama yang bernama Dewe Medaran.
Selanjutnya dari keturunan inilah yang kemudian menurunkan tokoh-tokoh yang kelak
mendirikan kerajaan-kerajaan diberbagai tempat di pulau Lombok seperti
Selaparang, Pejanggik, Langko dan Bayan
12
|
b.
Tingkat kedua,
salah seorang bangsawan yang diutus oleh Dewi Anjani untuk membangun pemukiman
baru di Pulau Lombok bernama Pengulu Alim. Pengulu Alim mempunyai seorang putra
yang bernama Dewe Medaran (Doyang Mangan). Raden Dewa Medaran.
adalah sosok yang sangat kuat, dia mampu mengangkat beban yang berat seperti
pohon kayu, batu besar, pantek (lumbung padi) dan lain-lain. Dalam
pengembaraannya Dewe Medaran bertemu dengan Tameng Muter dan Sigar Penyalin. Sigar Penyalin dimaknakan menurut nilai filosofis
sebagai seorang yang ahli dalam memutuskan perkara (hakim) sehingga masyrakat
merasa terayomi. Kemudian Doyan Medaran dimaknakan menurut nilai filosofis
sebagai sosok yang haus akan ilmu pengetahun sehingga termasuk seorang yang
memiliki kecerdasan yang memiliki bakat pemimpin, tegas, dan tangguh. Sedangkan
Tameng Muter dimaknakan menurut nilai filosofis sebagai sosok yang termasuk
ahli piker sehingga mampu mengatur dan menata tatakrama kehidupan masyarakat,
memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat. (Waancara
dengan Haji Purnipe, 2012, Makna filosofis beberapa istilah yang berkembang
dari Sembalun.). Mereka bertiga mampu mengalahkan
Raksasa Palmunik di Goa Sekaroh (sekar dan roh). Di dalam goa tersebut dijumpai
tiga orang putri dari Jawa masing-masing bernama Dewi Mas Ari Kencana (Putri Kerajaan
Majapahit), Dewi Ni Ketir (Putri Kerajaan Madura) dan Dewi Ayu Sasih (Putri
Kerajaan Jawa Tengah). Dewe Medaran kawin dengan Dewi Mas Ari Kencana, Tameng
Muter kawin dengan Ni Ketir dan Sigar Penyalin Putri dengan Dewi Ayu Sasih.
Perkembangan selanjutnya, Raden Sigar Penyalin diutus oleh Dewe Medaran
membangun kerajaan di sebelah utara yaitu di Sembah Ulun (Sembalun).
Sembah Ulun berarti sembah otak, karena ketika
Raden Sigar penyalin mandi di sebuah sungai yang berada di bawah Gunung Pusuk
Timur, tiba-tiba air yang mengalir berpusar di atas kepalanya. Pendapat lain
menyebutkan bahwa Sembah Ulun berarti sembah Tuhan. Tameng Muter diminta tinggal di Jerowaru, sedangkan
Raden Dewe Medaran melanjutkan kepemimpinan ayahnya Pengulu Alim di Selaparang.
Puteranya yang pertama lambat laun membangun kerajaan Pejanggik. Istilah Pejanggik munculnya tunas mangga yang
disebut poh jenggik. Awalnya Putri Mas Ari Kencana (Putri Kerajaan Majapahit)
yang hilang kawin dengan Dewa Medaran melahirkan seorang bayi laki-laki yang
tampan. Seiring dengan kelahiran bayi tersebut muncul tunas Mangga itu disebut
Poh Jenggik (Paoq Jenggik). Lama kelamaan menjadi Pejanggik
Sedangkan dari legenda Gunung Pujut mengungkapkan
tentang seorang Pangeran dari Majapahit
mengembara ke arah timur. Setelah kawin dengan Putri Kerajaan Klungkung (Bali),
rombongan menyeberang ke bagian timur yaitu pulau Lombok dan membangun negeri
baru di sekitar Gunung Pujut. Legenda tersebut menjelaskan bahwa nenek moyang
suku Sasak khususnya Lombok Selatan berasal dari Majapahit yang bercampur darah
Klungkung. Hal ini merupakan alasan sehingga orang-orang Bali berdatangan lagi
pada awal perkembangan kerajaan Pejanggik.
Berdasarkan data temuan arkeologis, secara umum menjelaskan
bahwa manusia purba di Indonesia berasal dari jenis Homo sapiens. Homo sapiens yang bermukim di Indonesia adalah dua
ras yaitu ras Mongoloid dan ras Austromelanesoid. Penyebarannya dengan
menggunakan perahu bercadik mengarungi lautan. Adapun penyebaran kedua ras
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.
Ras Mongoloid,
khusus sub ras Melayu-Indonesia, tersebar di sebagain besar wilayah Indonesia
terutama di bagian Barat dan Selatan antara lain : Sumatera, Jawa, Bali, dan
Lombok
b.
Ras Austromelanesoid,
tersebar di wilayah Indonesia bagian timur terutama Irian Jaya dan pulau-pulau
sekitarnya.
Secara umum, nenek moyang suku bangsa Indonesia
menyusuri lembah-lembah sungai di Vietnam dan Thailand kemudian sampai di
Semenanjung Malaya. Pada tahap selanjutnya, nenek moyang suku bangsa Indonesia
meneruskan perjalanan dengan menggunakan perahu bercadik mendarat di Sumatera,
Jawa, Kalimantan Barat, Bali Nusa Tenggara termasuk Lombok sampai ke Flores dan
Sulawesi Selatan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penghuni suku di Pulau
Lombok berasal dari Asia Tenggara.
Dari benda-benda temuan Gunung Piring Desa Truwai,
Kecamatan Pujut diketahui bahwa sejak
2000 tahun yang lampau sudah terpengaruh oleh tradisi zaman perunggu.
Menurut Drs.M.M. Sukarto dan Prof Solheim, guru besar di Universitas Hawai,
menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penemuan di gunung piring, pulau Lombok
bagian
selatan telah dihuni oleh manusia yang kebudayaannya
sama dengan penduduk di Vietnam Selatan di Gua Tabon, Gua Sasak di Pulau
Pallawan-Filipina, di Gilimanuk Bali dan di Malielo-Sumba yang dikelompokkan ke
dalam Shan Huyn Kalanny Tradition
Pada ekskavasi di Gunung Piring memberi petunjuk
bahwa yang datang ke Lombok adalah keturunan Mongoloid yang telah mengenal berbagai
peralatan dan perabotan rumah tangga yang menunjukkan peradaban tinggi.
Berdasarkan petunjuk Sang Hyang Manon ini, leluhur manusia Lombok kemudian
memberi tanda batas yang akan didiami oleh anak keturunannya kelak. Dari
sinilah mulai awal kehidupan, mereka kemudian menyebar mencari gumi paer (tanah
pekarangan) yang baru berdasarkan ukuran masa ketika itu. Maka muncul pola
hunian dan tempat tinggal yang terhitung menetap yang memiliki aturan dasar
secara turun temurun. Menurut Badrun AM (2004) Hal itu kemudian mengalami perkembangan
sehingga terbentuklah dasan dan desa.
Bukti-bukti etnografi menjelaskan bahwa etnis Sasak
di Pulau Lombok bagian dari penetrasi atau keturunan suku Jawa yang menyeberang
ke Bali kemudian ke Lombok. Kejadian dimulai sejak zaman kerajaan Daha, Keling
(Kalingga), Singosari sampai kerajaan Mataram yang berlangsung pada 5 dan 6 dengan
membawa agama Syiwa-Budha. Pada abad ke 7 Dinasti Majapahit semakin banyak
migran-migran yang melakukan penetrasi dalam rangka penguasaan, perdagangan dan
penyebaran misi agama kemudian bertempat tinggal di Lombok. Bukti tertulis adalah
tong-tong dari perunggu yang bertuliskan “Sasak
dana prihan srih java nira” yang berangkakan tahun 1077 Masehi.
Sejak jatuhnya kerajaan Majapahit abad ke-13 memasuki
era Islamisasi, raja muslim dari Jawa membawa agama Islam ke Gowa kemudian tiba
di Lombok dari arah timur. Proses ini berjalan semakin mulus pada penghujung
abad ke-15 seiring dengan keruntuhan Majapahit. Penyeberangan migran Jawa ke
Lombok ditandai dengan adanya
a.
Kesamaan nama tempat seperti Kediri,
Kuripan, Keling, Jenggala, Pajang Mataram, Gresik, Surabaya, Medang, Menggala,
Wanasaba, Suralaga, Pringgabaya, Kotaraja, Suradadi, Sukaraja, Kotaraja,
Peneraga dan lain-lain
b.
Pemberian nama-nama Jawa pada seseorang
seperti Raden Wiracempaka, Mamiq Diguna, Loq Swarna, Baiq Diah Purwanti, La
Sumirah, Setiawati dan lain-lain.
c.
Bahasa, kesenian, permainan rakyat,
tata nilai, adat istiadat, memiliki persamaan yang relatif dominan selain itu, tulisan
huruf yang disebut jejawen atau huruf
sasaka dengan bahasa Kawi menjadi
tulisan dan bacaan, bahkan wacana yang dominan dalam kitab-kitab Sasak yang
disebut takepan
15
|
Sekitar abad ke-17 kerajaan Bali (Karangasem)
menduduki daerah Lombok Barat dan berhasil menguasai kerajaan Selaparang.
Selain itu, juga ada pemukiman juga dari keturunan Timor yaitu Kapitan.
Selanjutnya kelompok dan suku lain memberikan kontribusi dan khazanah terhadap
keberadaan etnis sasak seperti Samawa, Mbojo, Arab, Cina maupun suku-suku dan
daerah lainnya di Pulau Lombok.
2.
Asal Usul Penamaan Suku Sasak-Lombok
Salah satu aspek dimensi yang memiliki korelasi
signifikan dengan dinamika masyarakat Sasak di Pulau Lombok adalah kesesuaian
nama suku (Sasak Lombok) dengan sikap dan prilaku keseharian masyarakat Sasak
di Pulau Lombok yang bersahaja, kalaupun kemudian terjadi perubahan dari watak
aslinya merupakan imbas dari kemajuan sains dan teknologi. Secara umum, kedua
istilah tersebut (Sasak dan Lombok) memiliki arti yang bervariasi dan bermakna
multidimensional dalam konteks kehidupan yang universal. Untuk lebih memahami
tentag arti dan maknanya.
a.
Arti Sasak dan Lombok
Sasak dan Lombok memiliki arti yang beraneka ragam.
Adapun arti Sasak dan Lombok dapat dijabarkan :
1)
Dari sumber lisan : Sasak karena zaman dahulu ditumbuhi hutan
belantara yang sangat rapat (Sesek =
rapat).
2)
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa : Sasak diartikan buluh bambu atau kayu yang dirakit
menjadi satu.
3)
Kitab Negarakertagama (Decawanana). : Sasak dan Lombok
dijelaskan bahwa Lombok Barat disebut Lombok
Mirah dan Lombok Timur disebut Sasak
Adi.
4)
Dr.C.H. Goris : Sasak berasal dari
bahasa Sansekerta yaitu sak berarti pergi dan saka berarti asal
Menurut Dr Van Teeuw dan P. De Roo De La Faille :
Sasak berasal dari pengulangan tembasaq (kain putih) yaitu saqsaq sehingga menjadi Sasak. Kemudian Ditjen Kebudayaan Propinsi
Bali : Di Pujungan Tabanan Bali terdapat
sebuah tongtong perunggu yang dikeramatkan bertuliskan “Sasak dana prihan, srih javanira”. Tongtong itu ditulis setelah
Anak Wungsu sekitar abad ke-12. Selanjutnya, dalam babad Sangupati : Lombok
terkenal dengan nama Pulau Meneng (sepi) sedangkan Steven van der Hagen : Pada
tahun 1603 di Labuan Lombok banyak beras yang murah dan hampir setiap hari
dikirim ke Bali sehingga pelabuhan Lombok dipopulerkan menjadi Lombok.
Selanjutnya Drs H. Lalu Azhar (2004 : 21)
berpendapat bahwa “Sasak” berasal dari kata “saq-saq” yang diartikan dengan
rakit bambu. Saq berarti satu
sedangkan “saq-saq” berarti satu demi satu. Beliau menjelaskan bahwa beberapa
kali (sungai) sebagai penyeberangan darurat menggunakan anyaman rakit bambu
yang dianyam satu demi satu. Jadi Orang Sasak di Pulau Lombok adalah orang yang
meninggalkan negerinya dengan menggunakan rakit sebagai kendaraannya. Orang
yang pergi tersebut dimaksudkan adalah orang Jawa. Hal ini dibuktikan dengan
adanya silsilah para bangsawan dan juga hasil sastra digubah dalam bahasa Jawa
Madya dan berhuruf Jejawan (huruf
Sasak).
Sampai akhir abad ke-19, Pulau Lombok terkenal
dengan nama Selaparang. Kerajaan ini semula bernama Watu Parang kemudian
berubah menjadi Selaparang. Dalam suatu memori tentang kedatangan Gajah Mada di
Lombok, waktu itu pulau Lombok disebut Selapawis (bahasa kawi : sela berarti batu dan pawis berarti ditaklukan). Jadi
Selapawis berarti batu yang ditaklukan.
b.
Makna Sasak dan Lombok
35
|
Oleh karena itu, nama Lombo` ini tidak berdiri sendiri dan selalu bergandengan, namun apa
sebabnya kemudian kata “Sasak” dijadikan nama suku yang mendiami pulau ini, dan
kata ”Lombok” dijadikan nama pulau. Memang antara penduduk dan pulau yang di
diaminya tidaklah berpisah. Sebab kedua kata itu mempunyai kaitan, karena kedua
kata ini bagi penduduk Lombok mempunyai arti luas, bahkan menjadi falsafah bagi
penduduknya ”sa`sa` Lombo” yang
berarti secara letterlijk ” satu-satunya kelurusan”, karena nama itu menjadi
sumber hidup dan kehidupan suku yang mendiami pulau Lombok ini. Sasak dan
Lombok mempunyai kaitan yang erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Ia terjalin
menjadi satu yang berasal dari kata ” Sa’sa’
Loombo”. Kata sa`= satu dan lombo`
= lurus. Dengan demikian, Sasak Lombok berarti satunya lurus
atau ”satu- satunya kelurusan”.
Selanjutnya dijelaskan arti dan makna Sasak Lombok
ditinjau dari beberapa segi, antara lain :
1)
Segi Bahasa.
Bahasa Sasak di Pualu Lombok sangat sederhana,
yaitu tidak ada kata tempat atau nama benda. Paling banyak terdiri dari dua
suku kata. Kalau ada kata-kata yang terdiri lebih dari dua suku kata tentunya
datang dari luar, misalnya jendela, bendera (Portugis).
Demikian pula untuk mendapatkan suatu nama,
pikirannya sangat sederhana, tidak pernah sulit untuk mencarikan nama dari desa
yang baru itu dengan nama yang muluk-muluk. Cukup dengan menambahkan kata
”timur” atau” barat” , Misalnya nama desa itu desa A. Dalam pemecahannya
kemudian dinamakan saja ”desa A timur” dan ”desa A barat” atau semacamnya, atau
kebetulan di tempat itu berdiri sebuah pohon, misalnya pohon asam maka dusun
yang dicarikan nama itu, cukup dinamakan dengan ”Dasan Bagik” (bagik = asam). Demikian pula
untuk mencari nama baru dari benda yang baru dikenalnya, yang datang dari luar,
umpamanya itik yang datang dari jawa, maka cukup dinamakan ”Bebek Jawa”.
2)
Segi keyakinan dan bermasyarakat
Suku Sasak bersandar pada Sa’sa’ Lombo’, sebagai
sesuatu yang diyakini. Hal ini berpengaruh positif dalam hidup dan
kehidupannya. Adapun sikap-sikap yang dimaksudkan dalam hidup beragama yaitu penyerahan
diri kepada Tuhan (Tauhid), taat kepada Tuhan, taat kepada pemerintah, taat
kepada orang tua.
Suku Sasak sangat teguh memegang apa yang diajarkan
sebelumnya begitupula dalam hidup bermasyarakat seperti : (1)
Penyebaran Islam pada tingkat
permulaan, yang shalat hanya para mubalig, karena mereka sangat taat dengan
ajaran yang sudah diterimanya dari guru yang pertama tadi. Hal ini terbukti
pada masyarakat yang dinamakan ”Islam Wetu Telu”, (2) Penduduk Lombok sangat
taat kepada orang tua (ibu bapak atau orang yang lebih dewasa). Jika orang tua
telah memiliki pendapat atau saran, maka
yang lainnya harus ikut pendapat atau saran tersebut. Kejujuran atau
kesederhanaan mereka beranggapan bahwa orang yang lebih tua dan patut lebih
dihormati itu tidak akan membohonginya. Itulah yang menjadi dasar bagi
masyarakat ”Wetu Telu” pada masa transisinya, bahwa untuk
menjalankan syari’at agama, lebih banyak diserahkan pada para Kiyai dan
Pemangkunya.
37
|
3)
Segi Keta’atan kepada Pemerintah.
Sudah tidak dapat diragukan lagi, karena ini memang
sudah sejalan dengan faham di dalam agama, yaitu taat kepada Tuhan, taat kepada
Rasul dan taat kepada pemerintah.
Seandainya oknum yang menduduki pemerintah itu seorang yang tidak jujur, lalu
mengelabui rakyat bagi kepentingannya sendiri, dalam tingkat pertama juga akan
ditaatinya.
Dalam hal ini nampak merupakan kelemahan bagi
mereka yang bulat-bulat menyerahkan persoalannya kepada seorang pemimpin yang
kemudian ternyata menipunya, mereka juga tidak akan memberikan reaksi yang
berlebih-lebihan. Paling-paling mereka akan menggerutu dalam bahasa Sasak
mengatakan : ia penje ia penjahit, ia
pete ia dait, bagus pete bagus tedait, lenge pete lenge tedait, yang
artinya bagus dicari bagus yang didapat, buruk dicari buruk yang didapat. Pada
hakekatnya pengertiannya, menyerahkan kepada Tuhan yang nanti akan menentukan.
Paham yang semacam ini kadang-kadang kalau ditinjau dari segi kemasyarakatan,
terutama dalam zaman sekarang ini, merupakan satu kelemahan, yang dapat saja
dieksploitir oleh pihak lain, tapi ditinjau dari segi keyakinan, pada
hakekatnya merupakan satu kekuatan iman, segala sesuatunya berada di tangan
Tuhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan nama suku dan pulau ini berasal dari ”Sa’sa’ Lombo”’ menjadi Sasak Lombok yang artinya satu-satunya
kelurusan. Sifat-sifat tersebut
tercermin dalam sifat datu dan pemban pada masa lampau. Datu dan pemban adalah
sosok pemimpin yang mengayomi, meng-emong rakyatnya. Pemimpinnya tidak
mementingkan istana yang megah. Yang penting rakyatnya dapat makan. Hal
tersebut merupakan salah satu alasan yang kuat mengapa bangunan istana raja,
datu atau pemban tidak ditemukan di Pulau Lombok. Dengan demikian Orang Sasak Lombok adalah orang-orang
yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran (kelurusan).
C.
Kehidupan Nenek Moyang Suku Sasak Zaman Prasejarah
1.
Masa Berburu
Kehidupan manusia pada zaman prasejarah selalu
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya karena masih bergantung
kepada alam. Daerah-daerah yang ditempati harus dapat memberikan makanan yang
cukup dan mudah diperoleh. Menurut Lalu Wacana, (1997) Pada masa berburu ini,
mereka memilih tempat yang strategis yaitu tempat yang sering dilalui oleh
binatang seperti padang-padang rumput yang tidak terlalu jauh dari sumber air karena
di tempat tersebut binatang dengan leluasa mencari sumber makanan dan minuman.
Selanjutnya menurut Usri Indah Handayani ( 2004) Lokasi Belongas, Sekaroh dan
lokasi sekitarnya merupakan wilayah berbatu kapur yang kini kurang subur dan
ditumbuhi semak-semak lantana diyakini sebagai jejak masa berburu. Ketidaksuburan
sampai saat ini disebabkan oleh kebiasaan nenek moyang suku Sasak pada masa
meramu yang biasa berpindah-pindah. Dengan demikian, pada awalnya nenek moyang
suku Sasak hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk
mengumpulkan bahan makanan dari hewan dan tumbuhan. Peralatan yang digunakan
berasal dari alat-alat yang sangat sederhana seperti dari batu besar yang
dikenal dengan pelor petir. Sedangkan pakaiannya dibuat dari kulit kayu, kulit
binatang maupun dari daun-daun.
2.
Masa Bercocok Tanam
Tahapan kehidupan zaman prasejarah yang lebih
tinggi yang berbeda dengan masa berburu. Pada masa ini manusia sudah mulai
menetap di suatu tempat untuk bercocok tanam. Tempat tinggalnya didirikan
tiang-tiang yang tinggi dengan maksud agar terlindung dari banjir maupun
binatang buas serta serangan dari golongan lain. Kebiasaan mereka bahwa dalam
satu lokasi ditempati oleh beberapa keluarga. Jenis yang ditanam adalah ubi,
ketela, pisang, padi gunung dan sebagainya dengan sistem pengairan masih sangat
primitif. Hanya dengan membuat bendungan dari tumpukan-tumpukan batu maupun
kayu. Menurut Primadewi (1994) Pada masa bercocok tanam, pemukiman masyarakat
zaman prasejarah dibagi menjadi yaitu.
1.
Pemukiman di Daerah Pesisir Pantai.
Nenek moyang kita yang tinggal di pesisir pantai
mengambil makanan dari pantai dan laut. Bukti tentang keberadaannya adanya alat
yang ditemukan seperti jaring (kerakat), alat penangkap cumi-cumi, adanya sisa
kerang
2.
Pemukiman di Daerah Pedalaman
Nenek moyang kita yang tinggal di daerah pedalaman
(hutan) mengambil bahan makanannya dari
hutan maupun sungai-sungai yang ada di dalam hutan. Adapun
jenis alat yang telah ditemukan dan kini disimpan di Museum NTB yaitu alat-alat
berburu seperti tombak, jaring, kodong ipin untuk menangkap udang, kodong
lindung dan sebagainya.
D.
Sistem Kepercayaan dan Pandangan
tentang Kosmos
- Sistem Kepercayaan
20
|
Situs penguburan Gunung Piring yang berada di
perbukitan merupakan bukti kepercayaan bahwa roh nenek moyangnya bersemayam
pada tempat yang tinggi. Salah satu alat
upacara yang dipergunakan oleh nenek moyang kita di Pulau Lombok adalah nekara.
Nekara yaitu semacam tambur besar, bentuknya seperti dandang terbalik dan dijadikan
sebagai benda pusaka, dianggap suci dan dipuja pada
waktu mengadakan kegiatan upacara. Hal ini terbukti dengan adanya penemuan
nekara di desa Pringgabaya pada tahun 1999.
Selain itu, mereka juga memuja benda (fetish) dan binatang yang menurut mereka
menakutkan sehingga paham antromorfisme
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Antropomorfisme
adalah kepercayaan tentang persamaan (pengenaan) ciri-ciri manusia pada
binatang atau benda mati sebagai wujud bentuk prilaku yang menyerupai hewan.
Menurut Haerunnisa (2012) Orang-orang sasak telah
mempunyai kepercayaan atau agama yang terdiri dari animisme, dinamisme,
bodaisme, budhisme, dan hindhuisme. Bagaimana perkembangan kepercayaan atau
agama-agama tersebut datangnya Islam, berikut ini akan dipaparkan secara
singkat
1.
Bodhaisme
Sebelum
kedatangan pengaruh asing di Lombok, boda merupakan kepercayaan asli orang
sasak. Orang sasak pada waktu itu, yang menganut kepercayaan ini, disebut
sebagai Sasak-Boda. Kendati demikian agama ini tidaklah sama dengan Budhaisme karena ia tidak mengakui Sidharta
Gautama atau sang budha sebagai figur utama pemujaan maupun terhadap ajaran
pencerahannya. Agama boda dari orang sasak asli terutama ditandai oleh animisme
dan panteisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai dewa lokal
lainnya merupakan fokus utama dari praktek keagamaan Sasak-Boda.
Menurut
Dahlan, (2005) dalam penelitianya menuturkan, bahwa pada mulanya orang-orang
Sasak Boda menyatakan bahwa mereka adalah penganut agama Hindhu Dharma. Namun
dalam perkembangannya, setelah tahun 1967/1968 mereka menyatakan keluar dari
agama Hindhu Dharma dan berikrar sebagai penganut agama Budha yang sejati,
padahal mereka telah mulai mengikut upacara nyepi yang berlangsung di lapangan
Tanjung.
Dalam
kepercayaan Agama Boda dikenal pula adanya dua macam upacara, yaitu upacara menunas kaya sebagai upacara yang
pertama. Upacara tersebut dimaksudkan untuk meminta keselamatan kepada Batara dan Dewa-dewi yang oleh ahli
antropologi disebut sebagai permohonan kepada Dewi Sri agar tanaman mereka
berhasil dengan baik. Sedangkan upacara
yang kedua adalah mulih kaya, yaitu
semacam upacara syukuran atas hasil baik dari tanaman yang diberikan kepada
mereka oleh Dewi Sri.
Sebelum
tahun 1973 upacara tersebut tidak dilakukan dengan pembacaan puji-pujian
terhadap Sidharta Gautama. Akan tetapi yang dibaca adalah tambang-tambang yang
menggambarkan adanya hubungan mereka dengan Batara
serta Bidadari, di samping adanya
kontak langsung antara mereka dengan roh leluhur dan roh sanak saudara yang
telah meninggal dunia.
Pada
upacara kematian, sebagaimana layaknya orang Islam, orang-orang Boda yang
meninggal dunia dimandikan, dan dipasang kain kafan, serta dikuburkan menghadap
kiblat, hanya saja mereka tidak dishalatkan. Upacara kematian ini dipimpin oleh
mangkubumi.
2.
Animisme
Kata animisme berasal dari kata anima, animae, dari bahasa latin animis. Kata ini merupakan sebutan untuk
kepercayaan yang pada mulanya dimiliki oleh orang-orang primitif. Dalam psikologi
dan biologi, kata animisme adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa pikiran
atau jiwa yang merupakan suatu elemen immaterial
yang bekerja sama dalam tubuh melalui otak dan system syaraf.
Dalam
filsafat, animisme merupakan suatu
teori yang menjelaskan bahwa segala obyek alam itu bernyawa atau berjiwa serta
mempunyai spirit dan kehidupan mental serta fisik bersumber dari nyawa, jiwa
atau spirit. Dalam istilah anthropologi animisme
adalah kepercayaan bahwa semua benda alam dalam dunia itu berjiwa (mempunyai
roh), sehingga roh-roh itu harus dijaga dan tak boleh dipermainkan. Ia dapat
terdiri dari roh mereka yang sudah meninggal dunia dam menimbulkan adanya
pemujaan terhadap roh nenek moyang atau mungkin roh-roh yang bersifat umum dan
tidak dihubungkan dengan seseorang. Animisme yang berkembang dalam kebudayaan
kuno itu akan lenyap dengan munculnya agama-agama yang terorganisir.
Tylor
dalam bukunya primitive culture mengemukakan
bahwa wujud agama dimulai dari animisme
merupakan perlambang dari suatu jiwa atau roh yang dimiliki oleh beberapa
makhluk lainnya. Tylor dalam penelitiannya di kalangan masyarakat Negro menambahkan bahwa makhluk halus
tersebut dapat memasuki tubuh manusia serta menguasainya, merasuk ke dalam
tubuh binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan atau pepohonan. Kepercayaan ini
berkembang di masyrakat primitive Lombok sehingga mereka memuja roh nenek
moyang yang telah tiada. Mereka yakin bahwa orang yang sudah meninggal dunia
memiliki roh-rohnya masih ada. Mereka menginginkan agar hubungan mereka dengan
roh nenek moyang tetap berlanjut dan tidak terputus sepanjang masa.
Oleh
karena itu, mereka pada umumnya senang apabila jenazah para leluhur bahkan kaum
kerabat mereka dimakamkan di kampung mereka sendiri, agar mereka dan roh-roh
para leluhur senantiasa berada dalam ikatan keluarga.
Selain
itu, mereka juga meyakini adanya roh-roh yang masih berkeliaran di alam ini.
Roh-roh itu dapat dapat dipanggil serta diminta pertolongan untuk menolak
timbulnya musibah dan bencana, atau untuk mengusir roh-roh jahat lainnya.
Roh-roh tersebut biasanya bersemayam di gunung-gunung, arca-arca, kuil atau
pura, mummi orang yang telah meninggal, atau pada tubuh orang yang masih hidup.
Mereka juga beranggapan bahwa di sekeliling mereka terdapat roh-roh orang-orang
yang telah meninggal dunia. Karenanya wajar apabila di dalam masyarakat Sasak
terutama pada masa lampau terdapat berbagai macam upacara dan adat istiadat
yang diterapkan untuk menghadapi orang yang meninggal dunia tersebut.
3.
Dinamisme
Kata
dinamisme dalam bahasa Yunani berasal dari kata dynamos. Kata tersebut dibahasa Inggris-kan menjadi dynamis yang dalam bahasa Indonesia
berarti kekuatan, kekuasaan atau khasiat. Menurut Honig dinamisme diartikan
dengan “sejenis paham dan perasaan keagamaan yang terdapat di berbagai bagian
dunia, pada berjenis-berjenis bangsa dan menunjukkan banyak
persamaan-persamaan”. Harun Nasution menjelaskan bahwa manusia primitif yang
tingkat kebudayaannya masih rendah sekali, tiap-tiap benda di sekelilingnya
mempunyai kekuatan bathin yang misterius.
Dalam
ensikopledi umum dinamisme adalah kepercayaan keagamaan primitive pada zaman
sebelum kedatangan agama Hindhu ke Indonesia termasuk antara lain Polynesia dan Melanesia. Dengan demikian dinamisme merupakan kepercayaan yang
mengarah kepada pemujaan terhadap benda-benda, binatang-binatang dan
lain-lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib (manna). Kepercayaan dinamisme ini juga dikenal dengan nama fetish. Kata fetish ini berasal dari bahasa Portugis Fetico yang berarti jimat
kemudian diterapkan pada pengertian peninggalan atau pusaka atau tasbih, yaitu
sesuatu yang mengandung daya gaib atau benda-benda yang berkualitas magic.
Menurut
keyakinan masyarakat primitive benda-benda atau binatang tersebut dapat
menghindarkan mereka dari gangguan makhluk halus yang jahat, serta
menghindarkan mereka dari malapetaka dan kesengsaraan, seperti sakit dan
musibah lainnya. Benda-benda tersebut dianggap dapat mendatangkan kebahagiaan,
banyak rizki, panjang umur, disenangi orang dan lain sebagainya. Benda-benda
yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib tersebut cukup banyak. Di antaranya batu
akik, besi yang dibentuk sebagai keris, air yang diyakini mempunyai manna oleh para dukun. Menurut keyakinan
mereka, hujan berkuasa atas kemarau, untung mujur serta malangnya nasib dan
lain sebagainya mengandung manna
tidak hanya benda-benda tetapi juga manusia, seperti dukun, kepala suku,
pimpinan perang, raja dan lain-lain.
Pada
zaman dahulu, di pulau Jawa banyak raja-raja yang dianggap menjadi titik
pertalian antara daya-daya. Mereka dilingkungi oleh peraturan larangan
pantangan atau tabu sehingga rakyat pada umumnya, tak berani menatap wajah
mereka, sebagaimana yang pernah terjadi di kalangan raja-raja di Yogyakarta,
hal inipun terdapat dalam masyarakat Sasak primitif. Disamping menganut
animisme, masyarakat suku Sasak zaman dahulu ada juga yang menganut dinamisme.
Paham atau kepercayaan mereka tentang adanya kekuatan gaib tersebut tercermin
dalam kenyataannya akan seringnya timbul perasaan tidak nyaman dan penuh
kekuatan, khususnya apabila mereka ditimpa bencana atau musibah yang
diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa yang dianggap besar, seperti gunung
meletus, banjir besar, terdengarnya guruh atau petir dan lain sebagainya.
Adanya bahaya yang muncul dari binatang-binatang buas atau binatang-binatang
tertentu lainnya, seperti harimau, buaya, biawak, tikus dan lain sebagainya.
Kesemuanya itu, seringkali mencemaskan dan menggelisahkan mereka. Paham itu
mencerminkan keyakinan adanya kekuatan gaib, semacam penjelmaan dari roh nenek
moyang mereka.
Dalam
perkembangan selanjutnya, masyarakat Sasak juga memandang bahwa dalam hidup ini
terdapat kekuatan ghaib yang maha dahsyat yang memisahkan mereka dari alam lain
yang sangat menakjubkan, yaitu Zat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mempunyai
larangan serta ancaman yang sangat menakutkan. Menurut pendapat mereka, tidak
ada pemisahan antara Zat Tuhan Yang Maha Kuasa dengan alam arwah dan alam
semesta beserta segala isinya. Perubahan-perubahan yang sering terjadi di alam
semesta ini sangat dipengaruhi oleh kekuatan gaib tersebut, yang selanjutnya
akan berpengaruh pula pada hidup dan kehidupan mereka pada umumnya.
Oleh
karena itu, meraka senantiasa berusaha menciptakan keselarasan dan keserasian
hidup dengan alam semesta, agar kehidupan mereka terjamin dalam ketenangan,
ketentraman, dan kesejahteraan, baik di alam dunia atau pun di alam gaib.
Mereka tidak berusaha menguasai alam ini, namun kalau hal itu terpaksa mereka
lakukan, maka mereka terlebih dahulu memohon izin kepada Yang Maha Kuasa dengan
cara menyelenggarakan kegiatan keagamaan berupa upacara sesajen yang dipimpin
oleh para pemangku daerah setempat, yang dikenal dengan sebutan Toaq Lokaq
- Pandangan tentang Kosmos
Menurut Lalu Wacana (1997) Nenek moyang kita percaya
bahwa dalam hidup ini ada satu kekuatan yang memisahkan hidupnya dengan alam
ghaib yang menakjubkan, mengancam, melarang menimbulkan penyakit. Alam ghaib
dengan segala isinya yang ghaib pula bagi masyarakat sederhana tidak terjangkau
oleh akal pikirannya sehingga meliputi jiwa dan kehidupannya yang akhirnya
mereka percaya bahwa daripadanya akan mendapat rahmat, keselamatan atau
sebaliknya kutukan maupun kesengsaraan.
Perubahan-perubahan yang terjadi di alam semesta
ini selalu ikut mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu
mereka berusaha mencapai keselarasan dan keserasian dengan alam semesta agar
terjamin ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan baik untuk di dunia maupun
alam ghaib. Mereka tidak berusaha menguasai alam dan kalau terpaksa terlebih
dahulu memohon ijin dengan jalan mengadakan sesajen. Tradisi pemangar gumi dan
nyenyampang sebagai wujud penghormatan terhadap alam sampai sekarang masih
terlihat di Sembalun.. Pemangar Bumi yaitu suatu upacara
yang dilakukan untuk pemberitahuan terhadap tanah sebelum dilakukan penebangan
pohon dan nyenyampang yaitu suatu acara yang dilakukan untuk menghormati makhluk
halus yang tinggal di pepohonan. (Hasil Wawancara dengan H. Purnipe, 2012)
Keterbatasan dalam mengatasi setiap rintangan alam
menyebabkan timbulnya penyakit. Dalam kondisi yang demikian, mereka menggunakan
bantuan belian (dukun). Dalam masyarakat suku Sasak, sistem pengobatan
tradisional melalui jalur tiga jalur yaitu jalur mistis, jalur tumpu jalur
wariga (ilmu perbintangan).
a.
Jalur Mistis
Sistem ini bertumpu pada kekuatan Dewi Anjani yang
terletak di Gunung Rinjani. Mitologi ini menuturkan adanya kekuatan jin jahat
yang dahulu menolak untuk dirubah menjadi manusia penghuni pulau Lombok. Konon
hanya 20 pasang Jin yang bersedia menjelma menjadi penduduk awal pulau Lombok.
Jin yang menolak termasuk kelompok Jin jahat. Mereka memiliki ibu bernama Dare Peri
dengan pemimpin bernama Patih
Gerigis. Merekalah yang bersumpah akan menjadi jin jahat untuk selalu
menyakiti manusia. Kelompok ini terdiri dari, (1) Belate bersemayam di pohon kayu, (2) Gutun Tanaq yang bersemayam dalam bumi, (3) Berhale bersemayam pada batu, (4) Bakeq yang bersemayam di
lautan.
Masyarakat Sasak meyakini kekuatan supranatural
dengan pembagian sebagai berikut (1) Betara
guru yaitu raja dewa-dewa yang menurunkan raja Lombok, (2) Bidadari yaitu sebangsa dewi yang hidup
di madya antara awang-awang, (3) Bebodo’
yaitu sebangsa hantu yang berkeliaran bila magrib tiba, terutama pada malam
Jum’at. Itulah sebabnya pada saat-saat itu, anak-anak dilarang bermain-main. Ia
suka menyembunyikan anak kecil yang diberi makan ulat. Untuk menemukannya
dipukulkan parang buntung, (4) Bakeq
juga sebangsa hantu yang sangat jahat membuat manusia sakit. Tempat tinggalnya
di hutan, batu-batu besar dan pohon kayu yang rindang, (5) Belata sama halnya dengan bakeq
hanya perbedaannya belata makan
orang., (6) Bebai sejenis makhluk
halus yang kecil, tidak semua orang dapat melihatnya. Bebai dipelihara oleh selaq, (8) Sela’ sebenarnya bukanlah makhluk halus melainkan manusia biasa.
Seorang dapat menjadi selaq disebabkan memiliki ilmu sejenis sihir sehingga berbuat dan
berubah menjadi sesuatu sesuai kehendaknya. Ada juga orang menjadi selaq karena keturunan. Orang yang
beristrikan selaq, maka ia menjadi selaq. Jenis selaq ada dua yaitu : (1) selaq
beleq : kekuatannya lebih besar dan lebih hebat dalam menghancurkan
kekuatan lawan umumnya memakan bangkai dan kotoran manusia. (2) selaq bunga : hidupnya di angkasa dan
selalu mencari musuh di malam hari. Selaq
bunga tidak memakan makanan yang kotor seperti halnya sela’ beleq
b.
Jalur Tumpu
Formulasi pengobatan melalui jalur tumpu
menggunakan tumbuhan yang terdiri dari akar, daun, bunga, kulit, getah dan
buah. Bahan-bahan tersebut diberikan jampi-jampi
(mantra/do’a). Banyak tumpu yang
berinduk komponen mamaq lekes (mengunyah
daun sirih) yang terdiri dari sirih, pinang, kapur dan tembakau. Selain itu, ditambahkan
dengan sekuh (kencur), jahe, jeringo, temopoh, laos (lengkuas),
ile-ile, daun jarak, buah jarak, buah
pace, perie (pare), borok nangke,
ketela, adas, pepaya, lemokek, berore,
terong pipit, johar, kesambiq, temperot manuk, babak jepun (kulit kamboja),
kemuning, lengkukun, cemare (cemara), bunga sandat, kerton putik, melati, gadung, akar re (akar ilalang), babak banten, pedun gumi dan lain-lain.
c.
Jalur Wariga
Wariga adalah jalur perbintangan meliputi ilmu
keprimbonan seperti pelintangan, nagari,
diwase tanam, diwase bale, diwase roah, diwase beternak dan lain-lain
1)
Pelintangan adalah
ilmu perbintangan yang digunakan untuk membaca isyarat bintang seperti bintang
kukus (untuk keamanan teritorial), bintang tenggale (untuk menggarap
pertanian), bintang rowot (untuk kesuburan tanah), bintang pai (untuk keadaan
cuaca).
2)
Lelungan adalah
ilmu untuk meramal untung budi, manfaat mudharat dan halangan bepergian dalam
bentuk papan kecil yang disebut wariga
lelungan
3)
Keprimbonan meliputi
ilmu tentang tanda-tanda pada manusia, seperti tanda baik buruk kelakuan,
rezeki, kesetiaan perempuan, kenikmatan yang dilihat rambut, hidung, telinga,
mulut, gigi, leher, dada, perut, pinggul sampai tumit
4)
Diwase tanam
meliputi wong, sato, mine, manuk, taru
5)
Diwase bale meliputi
tahap pekarangan, posisi rumah, dapur, kandang, lumbung padi, sumur dan berugaq
6)
Diwase rowah meliputi
penetapan hari baik upacara
7)
Diwase ternak untuk menentukan hari baik
untuk memulai memelihara hewan ternak
23
|
8)
Diwase untuk
berperkara, berperang, perisaian dan lain-lain
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wariga merupakan sebuah profesi yang
berimplikasi pada ilmu perbintangan. Kepercayaan masyarakat Sasak di Pulau Lombok
terhadap sesuatu yang mistis sehingga wariga
menjadi bagian penting dalam membentuk ikatan struktural fungsional di tengah masyarakat.
Sumber : Studi Sejarah dan Budaya Lombok "Kerjasama Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Sasak Lombok dengan Bappeda Lombok Timur", 2015
Komentar
Posting Komentar